Oleh Bondan Gunawan S. Disampaikan pada Diskusi : “Budaya Lokal Jati Diri Bangsa”, yang diselenggarakan oleh Lentera Zaman – Lentera Nusantara. Bandung, Sabtu, 20 Maret 2010.
SAUDARA-SAUDARA,
Sejarah negeri ini menunjukkan bahwa proklamasi kemerdekan bukan sesuatu yang given, atau hadiah dari penguasa kolonial. Proklamasi kemerdekaan adalah kristalisasi perjuangan yang panjang dari suatu komunitas kebangsaan yang kemudian menamakan diri INDONESIA. Di sana bukan hanya ada semangat dan keberanian untuk melawan kekuatan penjajah, melainkan juga menawarkan suatu gagasan, nilai, cita-cita bersama tentang kehidupan berbangsa-negara. Gagasan, nilai, dan cita-cita bersama itu bukan hanya sebagai antitesis terhadap sistem yang dijalankan rezim kolonial, melainkan juga hasil dari proses belajar anak bangsa ini terhadap masa lalunya yang gelap oleh praktik feodalisme dan penindasan oleh kaum penjajah yang membuat bangsa kita pernah kehilangan kekuatan dan kepribadiannya. Komunitas kebangsaan yang saya maksud di sini jelas menunjuk hasil belajar dari masa lalu, sebuah karya budaya yang mahabesar dalam peradaban kita. Sebuah fajar kebudayaan, yang kemudian melahirkan “proklamasi kemerdekaan”.
Saya meyakini bahwa kebudayaan terbentuk dalam rangkaian panjang konteks historis, dan berada pada rentang ruang dan waktu tertentu dari determinan-determinan historis yang multidimensi. Determinan-determinan historis itu mencakup anekaragam budaya dan komunitas, berbagai peristiwa bersejarah atau proses politik dan ekonomi. Kata “rangkaian panjang” perlu saya tekankan, karena ternyata tidak setiap transformasi yang berlangsung di bidang politik maupun ekonomi juga diikuti transformasi dalam sistem nilai (budaya). Jadi, menurut pemahaman saya, budaya mendapatkan sosoknya lewat proses dialektis antara sistem-sistem yang ada dalam masyarakat, dan karena proses dialektis itu sosoknya selalu bersifat sementara kendatipun kesementaraannya bisa bertahun-tahun. Karena itu, mencairkan kemapanan sosok budaya akan bergantung kepada ramuan dialektika berbagai sistem.
SAUDARA-SAUDARA,
Ijinkanlah saya untuk menengok kebelakang yang akan menunjukkan bahwa sebuah proses kebudayaan-lah yang menghasilkan kemerdekaan kita.
Tujuan pokok dari setiap kultur adalah untuk memberikan struktur yang kokoh bagi kehidupan manusia yang tidak dapat dipenuhi secara biologis. Produk itu dapat berupa benda-benda material, pranata-pranata sosial maupun kekayaan-kekayaan non-material. Dengan demikian kebudayaan sesungguhnya merupakan unsur utama dalam proses pengembangan diri manusia dan masyarakatnya.
Melalui kebudayaan masyarakat mendapatkan sumber utama tata nilai yang dihayati dan dianutnya. Sebagai sumber tata nilai setiap kebudayaan dituntut senantiasa bisa memperbaharui diri agar tetap punya relevansi dengan dinamika masyarakatnya. Hal tersebut bersifat terbuka terhadap hadirnya nilai-nilai baru. Sementara itu nilai-nilai baru bisa tumbuh, jika kebudayaan itu sendiri berkemampuan memberi rangsangan kepada masyarakat untuk selalu mencipta.
Dengan kemampuan mencipta dan menciptakan kembali, setiap masyarakat dan kebudayaan berkembang dalam suatu pola yang disaat tertentu kadang melahirkan krisis. Setiap krisis menantang untuk dihadapi, kemampuan keluar dari krisis itu pada gilirannya menghantar perkembangan masyarakat pada tahap yang baru. Pola semacam ini merupakan ciri masyarakat maju seperti dicontohkan belahan dunia barat yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Contoh lainnya dapat kita lihat pada keunggulan kapitalisme versus sosialisme justru karena kemampuan memperbaharui secara terus menerus itu melekat dalam sistem kapitalisme itu sendiri.
Berbeda dengan kebudayaan barat yang lebih berorientasi pada pengembangan rasio dan materi, masyarakat nusantara dalam proses dinamikanya berorientasi pada keseimbangan. Orientasi ini umum dipandang menyimpan kekuatan dan juga kelemahan. Kekuatannya ditunjukan dalam kemampuan masyarakat mengolah pengaruh dari berbagai kebudayaan menjadi kebudayaan baru. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa masyrakat kita tumbuh dan berkembang berdasarkan hasil dialektika dari berbagai macam agama, budaya Timur, dan juga budaya Barat. Sintesa dari proses tersebut kemudian berhasil menjembantani kemajemukan masyarakat nusantara. Boleh jadi seloka Empu Tantular, yaitu semboyan Bhinneka Tunggal Ika, telah menjadi sumber inspirasi bagi Gadjah Mada. Semboyan tersebut merupakan cermin kebijakan seorang pujangga dalam melihat realitas kehidupan masyarakat pada jamannya yang ternyata tetap relevan hingga saat ini.
Budaya Nusantara yang bersendikan kemajemukan menemui tantangan terberat dan terlihat melemah ketika bertemu dengan budaya Barat yang berasaskan rasio dan kekuatan materi. Melalui keunggulan ekonomi dan teknologi, kolonialisme yang bermuatan budaya barat berhasil mendominasi kehidupan masyarakat Nusantara. Namun melalui kolonilisme itu pula dialektika kebudayaan terjadi dalam intensitas yang tinggi dimana masyarakat kita bereaksi dalam pola menerima atau menolak secara krirtis unsur-unsur budaya barat untuk kemudian diserap dan dijadikan bagian penting bagi pengembangan kebudayaan kita sendiri. Proses ini telah memicu reaksi intelektual masyarakat kita untuk menghasilkan tokoh-tokoh seperti Kartini, H. Agus Salim, Tjokroaminoto, Soekarno, Tan Malaka, Syahrir, Hatta dan sebagainya.
Dalam pengertian diatas pola reaksi intelektual itu pada dasarnya merupakan upaya memperbaruhi kebudayaan untuk mencipta kebudayaan baru. Reaksi tersebut mengambil bentuk pemakaian unsur kekuatan budaya Barat dipadukan dengan keunggulan budaya sendiri.
Disini kemudian tumbuh berbagai macam aliran pemikiran masyarakat kita yang berspektrum luas dan mampu menjadi landasan bagi suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan Indonesia.
Upaya membangun kebudayaan Indonesia merupakan tanda kebangkitan nasional dan dapat menjadi kerangka dasar bagi pengelompokan masyarakat. Perjalanan sejarah membuktikan berbagai ragam pemikiran anak bangsa mampu saling bersinergi dan membentuk seperangkat nilai baru yang bisa menjadi acuan nilai-nilai kesadaran nasional. Interaksi dan dialog berbagai ragam pemikiran telah memicu pengelompokan politik baru yang kemudian berproses menjadi aliran-aliran politik yang merepresentasikan gagasan dan aspirasi masyarakat kita.
Dari pandangan tersebut bisa dikatakan bahwa aliran politik merupakan produk kebudayaan dalam rangka memperbarui kebudayaan itu sendiri. Sebelum Negara Indonesia terbentuk, aliran-aliran politik yang merupakan wujud pembaruan menjadi unsur penting terbentuknya bangsa Indonesia. Oleh karena itu kesadaran kebangsaan Indonesia jelas merupakan produk kebudayaan.
Saudara-saudara yang saya hormati,
Dialektika kemasyarakatan dalam prosesnya menciptakan ikatan emosional antara manusia dan masyarakatnya. Ikatan tersebut membentuk loyalitas kultural yang sikapnya selaras dengan tata nilai yang berlaku. Dalam kebudayaan yang terbentuk melalui aktivitas manusia yang banyak tergantung pada alam, loyalitas manusia bersifat alamiah seperti pada keturunan, suku bangsa, agama. Bagi kebudayaan yang di bangun dengan mengandalkan kekuatan rasio manusia, loyalitas kultural menjadi lebih artifisial seperti pada gagasan politik, sosial, ekonomi dan sebagainya.
Masyarakat kita yang mulai menyerap nilai baru dari masyarakat barat pada gilirannya membentuk pola pengelompokan baru yang tidak sekedar mengikatkan diri pada loyalitas lama. Dengan pola pengelompokan itu berbagai organisasi sosial politik kemudian mencetuskan nilai-nilai yang mencerahkan, yaitu kebangsaan Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebangsaan pertama-tama hadir dalam kesadaran subyektif manusia. Kesadaran subyektif tersebut kemudian menjadi realitas obyektif ketika diwujudkan dalam bentuk negara setelah melalui proses politik. Realitas obyektif kebangsaan pada akhirnya menciptakan loyalitas antar warga bangsa dalam bentuk ikatan kebangsaan.
Kebangsaan dalam pengertian di atas bukanlah sekedar rasa semangat atau wawasan saja. Kebangsaan adalah suatu paham yang terdiri dari seperangkat nilai yang diyakini kebenarannya dan dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut terdiri dari pandangan hidup, suatu penjelasan tentang realitas, mengandung cita-cita, dan juga cara yang direkomendasi untuk mencapai cita-cita tersebut. Karena itu kebangsaan adalah produk budaya manusia dalam membangun masyarakat dan sebagai keniscayaan dari kesadaran sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar.
Seperti kita ketahui bahwa sejatinya manusia mempunyai hubungan ganda terhadap dunia. Kecuali manusia berada dalam suatu dunia yang mendahului eksistensinya, manusia juga membangun dunia bagi dirinya. Dinamika perkembangan masyarakat nusantara dalam waktu tertentu sampai pada tahap kemajuan etnis kultural yang sekaligus terbelenggu oleh penjajahan masyarakat Barat. Realitas tersebut merupakan eksistensi dunia yang mendahului hadirnya generasi founding fathers. Keharusan membangun dunia bagi generasi tersebut mendorong penciptaan kebudayaan baru atau memperbarui kebudayaan. Melalui kebudayaan, nilai-nilai berazaskan materi yang dibawa oleh kolonialisme dipertanyakan relevansinya.
Ketika nilai-nilai itu tidak relevan dengan perkembangan masyarakat, maka paham kebangsaan tercipta sebagai bagian dari pembaruan kebudayaan. Pembaruan tersebut mencetuskan nilai-nilai baru berupa integrasi nasional dan ide pembebasan. Perwujudan nilai-nilai tersebut dalam realitas historis mendorong aktivitas pergerakan kebangsaan dalam rangka pembentukan negara bangsa dengan suatu kebudayaan baru.
Dengan demikian kebangsaan Indonesia adalah suatu upaya pembaruan kebudayaan yang berproses secara dialektik melalui kegiatan manusia dalam hubungannya dengan masyarakat. Oleh karena sifat yang demikan, kebangsaan Indonesia senantiasa diletakkan dalam wawasan kemanusiaan. Setiap upaya perwujudan kebangsaan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari fenomena kemanusiaan, dan karenanya pada saat itu kekhawatiran kebangsaan Indonesia menjadi chauvinistis menjadi tidak beralasan. Karena sejak semula pembentukan kesadaran kebangsaan Indonesia merupakan bagian dari dinamika kemanusiaan di nusantara yang menjadi bagian dari formasi bangsa-bangsa di dunia.
Kebangsaan Indonesia sebagai produk kultural jelaslah tidak bersifat xenophobia. Kebangsaan kita tidak secara apriori, menolak kebudayaan asing, modal asing, dan segala hal yang berbau asing lainnya.
Karena proses terbentuknya kebangsaan justru melanjutkan tradisi masyarakat kita, ketika bertemu dan berinteraksi dengan berbagai ragam kebudayaan asing untuk kemudian diserap dan diambil unsur-unsurnya yang bermanfaat. Segala hal baru yang di perkenalkan atau diciptakan, sepanjang mempunyai relevansi dengan masyarakat akan diterima sebagai bagian dari kebudayaan sendiri. Sementara unsur-unsur budaya asing yang dipandang tidak relevan disingkirkan. Oleh karena itu faham kebangsaan kita menerima segala ide dari Barat seperti demokrasi, konstitusionalisme, hak azasi manusia, kebebasan, keadilan dan sebagainya. Karenanya untuk mengembalikan jati diri bangsa pemahaman kita terhadap budaya lokal dan sistem nilainya merupakan kebutuhan, agar bangsa ini tidak tercabut dari akar budaya yang dimiliknya. Sehingga dengan demikian menggali kembali nilai-nilai budaya lokal tidak hanya merupakan nostalgia dan romantisme masa lalu.
Sekian dan Terima Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar