SEKALI waktu saya diundang untuk menjadi salah seorang penanggap pada saresehan “Mengungkap Kearifan Lokal Kampung Adat Sunda” yang diselenggarakan secara bersama-sama oleh Panji Nusantara, Aliansi Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila Rumah Kita di Bandung. Saresehan berlangsung sehari penuh, terdiri dari beberapa sesi diskusi dan setiap sesinya diselingi dengan pertunjukkan kesenian dari berbagai daerah. Pada sesi pertama tampil budayawan, akademisi dan pengamat politik yang berbicara mengenai keberagaman suku, budaya, agama dan kepercayaan dengan segala permasalahannya. Sesi kedua kurang lebih sama atmosfirnya: seniman, anggota DPRD, tokoh pemuda dan artis berbicara mengenai krisis multidimensi yang melanda negeri ini, mulai dari krisis ekonomi, sosial, politik, moral, budaya, lingkungan sampai kepemimpinan nasional.
Asyik juga menyaksikan para pembicara yang berbatik, bersafari, berjas dan berdasi itu. Mereka umumnya berbicara dengan artikulasi yang enak didengar, mengutip teori-teori dengan fasih, menganalisis persoalan dengan canggih, mengapungkan wacana demi wacana, dan terkadang dengan gaya seorang orator mengkritik banyak pihak, termasuk menghujat pemerintah yang dianggap tak mampu mengangkat bangsa dari keterpurukan. Yang mengikuti saresehan ternyata bukan orang-orang sembarangan, banyak tokoh-tokoh seperti seniman, budayawan, akademisi, pensiunan pejabat, veteran politik, pengusaha, paranormal, aktivis LSM dan mahasiswa, di samping beberapa perwakilan dari masyarakat adat, penghayat kepercayaan dan agama-agama.
Para pembicara umumnya menggambarkan kondisi negara kita saat ini dalam situasi yang kacau, tidak menentu dan berada di ambang perpecahan. Mereka membeberkan daptar panjang persoalan yang melanda bangsa ini, mulai dari korupsi, hak azasi manusia, pelaksanaan eksekusi hukuman mati sampai pornografi yang mau diundang-undangkan. Mereka juga menyertakan daptar keluhan yang tak kalah panjangnya. Mengikuti dua sesi ini kepala saya tiba-tiba berdenyut, urat-urat saraf saya seperti menegang dan repotnya lagi tidak boleh merokok di dalam ruangan. Daftar panjang persoalan dan keluhan itu tak ubahnya selokan yang mampat, tak ada jalan keluar. Sementara para penanggap maupun penanya yang umumnya intelektual juga hanya menambah daptar persoalan, keluhan dan keruwetan menjadi semakin panjang. Pikiran mereka membumbung seperti asap di udara, tidak berpijak di bumi.
Sesi berikutnya tampil narasumber dari beberapa komunitas adat, yang sebagian diwakili oleh kuncennya masing-masing. Ruangan sedikit berubah atmosfirnya dengan kehadiran mereka, bahkan sangat kontras dengan dua sesi sebelumnya yang panas. Pada sesi ini para narasumbernya berbaju kampret hitam dan memakai ikat kepala barangbang semplak. Ada juga yang mengenakan baju koko putih dan bendo, tapi tidak ada seorang pun yang memakai sepatu. Mereka umumnya sudah berusia dan penampilannya sangat sederhana: bertubuh kurus, agak bungkuk, kulit mulai keriput, pakaian lusuh namun sangat santun dan nampak tidak suka banyak bicara. Kelihatan bahwa mereka sedikit canggung duduk di depan hadirin yang umumnya terpelajar.
Para narasumber itu adalah Ki Encu dari Bantarkalong (Sumedang), Mang Karman dan Abah Maryono dari Kampung Kuta (Ciamis), Abah Sahari dari Cikadu dan Mang Kasmin dari Kanekes (Banten), Abah Karlan dari Banceuy (Subang) dan Pak Agus Radiman dari Cigugur (Kuningan). Setelah diperkenalkan oleh moderator mereka diberi kesempatan bicara masing-masing selama sepuluh menit, namun waktu yang mereka gunakan tidak sampai lima menit, itu pun termasuk beberapa pancingan dari moderator. Yang mereka sampaikan sangat sedikit, tapi terasa begitu penuh. Yang mereka ucapkan apa adanya, terbata-bata dan jauh dari keinginan beretorika. Namun yang apa adanya dan terbata-bata itu bagi saya seperti cahaya mateor yang melesat dan menggetarkan bulu kuduk. Saya tiba-tiba merasa tercerahkan oleh mereka.
Ketika moderator menanyakan perihal kiat memimpin Kampung Kuta yang konon hutannya dikenal sangat terpelihara, Abah Maryono menjawab: “Abdi mah teu nyepeng elmu, mung nyepeng amanah”. Jawaban yang pendek dan sederhana ini sangat mengagetkan. Tidak memegang ilmu namun memegang amanah. Artinya, bagi seorang pemimpin adat memegang amanah jauh lebih penting dari penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Apalah artinya ilmu kalau hanya untuk disalahgunakan? Apalah artinya kecerdasan kalau hanya untuk memintari orang? Begitulah kira-kira. Dua sesi perdebatan yang penuh busa dan retorika dari para budayawan dan intelektual, sepertinya terjawab dengan hanya beberapa patah kata dari seorang kuncen yang pekerjaan sehari-harinya bertani.
Tapi cara berpikir masyarakat modern sungguh kebalikannya. Bagi mereka yang mengaku rasional memegang amanah ternyata sangat merugikan. Kenapa? Karena dengan memegang amanah tentu tidak akan bisa melakukan korupsi, kolusi atau nepotisme. Dengan memegang amanah tentu tidak akan bisa melakukan mark-up atau memanipulasi proyek. Dengan memegang amanah tentu tidak akan bisa membabat hutan atau meratakan gunung seenaknya. Dengan memegang amanah tentu tidak akan bisa memperbanyak rumah dan mobil pribadi, juga tidak akan berani memperbanyak istri. Pendek kata, kalau masih memegang amanah siapapun tidak akan bisa kaya secara mandadak. Dari sikap mental masyarakat seperti inilah sebenarnya krisis demi krisis dimulai.
Ketika seorang penanggap menanyakan bagaimana mengatasi krisis-krisis ini, Abah Sahari dari Cikadu menjawab seperti acuh tak acuh: “Amanah ka urang Sunda, ka urang Islam, ka urang Indonesia, kudu sauyunan, kacai kudu saleuwi, ka darat kudu salogak”. Artinya, kita semua harus bekerja bahu membahu, gotong royong dan mempunyai tujuan yang sama. Di kampung-kampung adat selalu ada pamali (semacam undang-undang atau aturan main) yang berupa anjuran dan larangan yang harus ditaati seluruh warga. Umumnya pamali dimaksudkan untuk menjaga kerukunan atau harmoni, baik antar sesama warga maupun dengan alam sekitar. Pamali atau undang-undang mereka ini nampak sangat sederhana, tidak ruwet atau penuh muatan kepentingan seperti yang biasa dibuat DPR, namun justru karena kesederhanaannya maka bisa dilaksanakan dan diamalkan.
Untuk menjawab pertanyaan yang sama, Mang Kasmin dari Kanekes mengatakan: “Hirup mah ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagede-gede gawe”. Jangan berlomba-lomba mengejar kedudukan, jangan berebut dalam pekerjaan. Kembali bulu kuduk saya merinding dibuatnya. Sebuah kalimat yang diucapkan dengan pelan namun maknanya sangat dalam, yang tanpa tedeng aling-aling seakan menampar wajah para pejabat, wakil rakyat, pengurus partai, aktivis LSM, pengusaha, broker dan juga kita semua. Bukankah mencapai sebuah kedudukan dengan mengorbankan orang lain adalah hal yang lumrah sekarang ini? Bukankah mengejar sebuah ambisi dengan menghalalkan segala cara merupakan sesuatu yang biasa? Saya kembali merasa terkecerahkan.
Dalam kehidupan masyarakat tradisonal atau adat, pola kepemimpinan di antara mereka tidak berdasarkan pada keinginan atau ambisi seseorang, apalagi jika ambisi tersebut diperjuangkan dengan cara-cara yang tidak sepantasnya. Pemimpin yang tampil pasti orang yang secara alamiah sudah teruji dalam banyak hal, baik dedikasi, kemampuan, ketulusan dan juga kesiapan memegang amanah dan tanggung-jawab. Berbeda sekali dengan umumnya masyarakat modern yang memandang kedudukan atau jabatan sebagai tujuan, yang kemudian dengan kekuasaan yang dipegangnya bisa memperkaya diri sendiri. Maka wajar jika kedudukan atau jabatan apapun, baik di birokrasi, partai, ormas, lembaga pendidikan, institusi keagamaan atau perusahaan, selalu akan menjadi rebutan. Pak Agus Radiman dari Cigugur memaparkan beberapa hal mendasar yang wajib dipunyai seorang calon pemimpin: ”Budi pekerti, undak usuk, tata krama, budi daya jeung budi basa”. Begitu sederhana kedengarannya, tapi mungkin sulit sekali melaksanakannya sekarang.
Menurut penelitian Robert Wessing, seperti yang pernah dikutip Jakob Sumardjo, pola kepemimpinan dalam masyarakat Sunda tradisional sangat unik, di mana hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya seperti hubungan guru dengan murid. Jika sang pemimpin diibaratkan isi maka pengikutnya adalah wadah yang siap menampung limpahan isi. Kwalitas dari kepemimpinan semacam ini sangat tergantung pada pribadi pemimpinnya. Seorang pemimpin yang berisi atau berkwalitas akan terus mengalirkan isi atau kebaikan kepada para pengikutnya. Pola seperti ini sejalan dengan kepemimpinan dalam tradisi pesantren, di mana kiai adalah pemimpin sekaligus guru. Kalau kiainya alim atau berisi, tentu santrinya juga akan turut menjadi alim dan berisi pula. Dan sebaliknya, kalau kiainya sibuk berpolitik praktis, maka jangan heran kalau para santrinya akan menjadi benalu-benalu politik.
Kearifan-kearifan semacam ini, yang sebenarnya merupakan kekayaan rohani kita meskipun sudah terlupakan atau sengaja dilupakan, menjadi sangat penting untuk direnungkan kembali. Reformasi yang seakan-akan membawa kita pada banyak perubahan, ternyata hanya sebatas permukaan saja. Diberlakukannya sistem multipartai, dilaksanakannya pemilihan langsung untuk pemilu presiden dan kepala daerah terasa masih setengah hati. Faktanya rakyat masih belum bisa benar-benar memilih secara langsung karena calon-calon yang disodorkan partai selalu bukan yang dibutuhkan atau dipercaya oleh rakyat. Calon-calon yang disodorkan selalu yang dianggap menguntungkan partai atau pengurus partai, meskipun sebenarnya merugikan rakyat. Di sinilah praktek-praktek politik uang atau jual beli dukungan terjadi, dan para calon yang sudah kebelet ingin berkuasa dengan senang hati akan mengikuti semua permainan gila ini.
Dari proses kepemimpinan yang penuh permainan dan manipulasi tentunya kita tidak bisa berharap banyak akan munculnya tokoh yang mampu memegang amanah seperti yang dicontohkan para pemimpin adat tadi. Kita bisa memprediksi siapapun yang terpilih menjadi presiden, gubernur, bupati atau walikota pasti akan berpikir ekonomis terlebih dahulu, misalnya menghitung berapa uang yang sudah dikeluarkan selama proses pencalonan dan kampanye. Maka pada tahun pertama masa jabatannya mereka akan berusaha keras bagaimana mengembalikan modal awal tadi. Lalu tahun-tahun berikutnya adalah periode mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya sebagai persiapan untuk maju lagi pada periode berikutnya. Di sisi lain ia pun masih harus membayar banyak utang kepada para pendukungnya dengan memberikan jabatan, proyek atau uang kadeudeuh. Lingkaran setan ini akan terus bergulir sampai akhir masa jabatan, dan amanah yang menjadi inti atau ruh dari kepemimpinan menjadi terlupakan dengan sendirinya. Begitu juga halnya dengan kewajiban untuk memberikan kesejahterakan kepada rakyat menjadi ”emangnya gue pikirin”.
Merenungkan kearifan-karifan lokal bukan berarti kembali ke masa lalu atau menjadi masyarakat tradisional lagi, namun bagaimana mutiara-mutiara yang diwariskan para leluhur tersebut menjadi pegangan yang membimbing setiap langkah kita ke depan. Seperti halnya kampung-kampung adat, bukankah negara atau pemerintahan kita juga mempunyai pamali, mempunyai undang-undang atau aturan main? Dan seluruh permasalahan yang melanda negeri kita, seluruh krisis dan bencana yang tak habis-habisnya ini, saya kira semuanya berawal ketika yang namanya pamali, undang-undang atau aturan main sudah tidak diindahkan keberadaannya. Ketika yang namanya amanah sudah tidak dianggap penting lagi.
[Acep Zamzam Noor]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar