Selasa, 02 November 2010

Menjadi Avatar Indonesia


Menjadi Avatar Indonesia
Oleh   Radhar Panca Dahana

Kita memang harus sungguh-sungguh meninjau kembali sejarah negeri ini. Semua buku sejarah resmi yang saat ini berlaku sudah selayaknya dimasukkan dalam peti dan dikunci untuk selamanya, atau sama sekali dihanguskan. Karena memang ia tidak berhasil sama sekali menggambarkan realitas historis dari riwayat bangsa –serta adab dan kebudayaannya—yang sesungguhnya pernah ada.
Sejarah kita saat ini, tidak hanya sangat terbatas data-data yang dimilikinya. Lebih memrihatinkan, data-data utamanya tidak lagi dimiliki oleh brankas atau laci-laci kepustakaan local, namun tersebar di berbagai pusat dokumentasi berbagai kota utama dunia. Sehingga tak dapat dihindari kemungkinan terjadinya seleksi, pemilahan, hingga penafsiran data yang didorong oleh kepentingan masing-masing negara pemilik data-data itu.
Sedikit hal itu saja sudah memperlihatkan bagaimana sebenarnya sejarah kita sendiri ternyata lebih banyak ditentukan oleh data, bacaan, analisis dan penafsiran ahli-ahli di luar kita. Betapa banyak sejarawan, dari negeri-negeri Timur dan Barat, yang begitu menentukan isyu atau diskursus sejarah negeri ini, hingga sekarang. Hingga pada pengaruhnya yang tidak kecil pada cara kita menentukan sistem dan cara kita berpolitik, berekonomi atau berhukum.
Pada sisi internal, kita mengenal sejarah diri sendiri melalui sebuah modus yang penuh dengan ambiguitas bahkan kegelapan: mitologi. Kita tidak tahu, sampai hari ini, siapa sebenarnya Wali Sanga, siapa sebenarnya tokoh Syekh Siti Jenar itu, kapan sesungguhnya Islam masuk negeri ini, apa dan bagaimana Sriwijaya itu, siapa itu Ajisaka atau Kian Santang, dan banyak lainnya.
Sementara ....riwayat-riwayat nama dan peristiwa penting di atas ada dulum kurun waktu yang bagi sejarah dunia tergolong muda. Tidak lebih dari 1,5 milenia, bahkan hanya 500 tahun lalu. Lebih mengerikan, tentang peristiwa G 30 S PKI dan Supersemar, hingga hari ini masih misterius dan dibalut banyak mitos. Padahal pelakunya sebagian masih bernafas dan mungkin merasa getun.
Bagaimana kemudian kita dapat melihat dengan baik, asal muasal terbentuk atau berprosesnya sebuah tradisi dan budaya yang begitu hebat dan kaya seperti yang ada di Jawa, Sunda, Bugis, Minang, Minahasa, Asmat, Daya, hingga Batak atau Banjar. Bahkan Betawi saja masih begitu kuat balutan mitologinya. Setidaknya sebagaimana diyakini Ridwan Saidi, yang notabene dianggap budayawan Betawi, bahwa sub etnik itu sudah ada sejak awal masehi, sebelum Belanda, Portugis, bahkan Islam datang. Seperti kata “kubur”, katanya, serapan Arab yang datang jauh hari sebelum mereka menjadi Islam. Hmm….
Kita, lebih dari 60 tahun merdeka, lebih dari dua mileniuem peradaban kita, ternyata masih begitu jauh dari mengenal diri kita sendiri. Mungkin justru menjauh.

Siapa Menyangka Kita
Siapa menduga, bila Islam sudah masuk ke negeri ini sejak Nabi Besar kita masih sibuk berdagang dan berperang? Siapa menyangka jika salah satu raja Sriwijaya dikabarkan masuk agama Islam, dan beberapa patih-panglimanya adalah muslim yang menjadi duta ke berbagai negara, termasuk Cina? Siapa menyangka bila di Flores ditemukan fosil tulang biri-biri dari masa 1.700 tahun SM yang pada masa itu hanya hidup atau diternakkan di Timur Tengah? Dan dari kurun waktu yang hampir sama sebuah fosil daun cengkih ditemukan di kawasan sungai Eufrat, Irak. Sebuah temuan yang mengejutkan semua ahli bio-paleontologi karena daun itu hanya hidup di kawasan Maluku kala itu.
 Siapa menyangka bila para Pharaoh Mesir terakhir dibalsem dengan antara lain menggunakan kapur barus dari Kota Barus di Sumatera Utara bagian tengah? Siapa menyangka pada 100 SM sebuah kapal besar dari Jawa mengangkut berbagai hasil bumi berupa emas, perak, cengkih, gading gajah dan lain-lain ke Afrika untuk ditukarkan dengan budak? Siapa menyangka, bila rakyat kehebatan pelaut-pelaut kita sudah begitu mendunia bahkan sejak 1.000 tahun SM; menjadi penguasa tiga samudera bahkan guru bagi para pelaut Yunani, Mesir, India bahkan Cina?
Siapa yang menyangka, bahkan kehebatan-kehebatan itu pun tercata dalam injil?
Siapa menyangka diri kita yang sebenarnya?

Adab “Advance” Kita Dulu
Sejak hasrat yang menggebu dan kemudian melakukan perjalanan keliling sebelas propinsi pada tahun 1990, saya sungguh menemukan dan memelajari dengan penuh gairah dan kagum bagaimana adat-adat terbentuk dan adab-adabnya terbentuk, berkembang serta bertahan hingga hari ini. Sebuah kekayaan luar biasa yang negeri mana pun akan sirik, bahkan sejarah manusia itu sendiri.
Saya melihat Sunda, Batak, Bugis tidak lagi dari bekas-bekas Portugis, Belanda atau Inggrisnya. Tidak juga melalui Cina, Arab, Hindu-Buddha atau Indianya. Selain dari jejak-jejak tiga peradaban diasporik terbesar dunia –yang selama ini tersembunyi—Armenia, Yahudi dan Arya, saya melihat juga jejak yang jauh lebih dalam, jauh lebih tua. Jejak yang kini tersisa asap-asapnya di berbagai suku terasing yang susah payah mempertahankan diri dari serbuan kultural luar biasa selama beberapa millennium, di Kubu, Baduy, Tengger, Daya, atau Asmat.
Dalam diri mereka saya tahu, pernah ada sebuah peradaban yang cukup advance di masa sejarah sebelum atau tidak ditentukan oleh empirisme atau rasionalisme oksidental, oleh aksara. Sebuah panorama peradaban yang dibangun begitu alamiah, yang mendasarkan diri pada integrasi penduduknya dengan alam, dengan lautan yang mengepung mereka dari segala penjuru. Dengan berbagai dewa, keyakinan yang kita sebut paganistik, tersebar di berbagai bandar serta dataran rendahnya.
Dari diri mereka, dari sebuah penelitian, ditemukan sebuah sukubangsa bernama Lapitan di kawasan tengah Papua dan Maluku, yang memiliki kebudayaan bercocok tanam maju dan teknologi pelayaran yang mampu membawa mereka ribuan mil ke Timur dan Barat. Ke pulau Fiji, Paskah, Selandia Baru hingga Hawaii dan boleh jadi menyeberang ke Amerika menjadi manusia pertama di benua merah itu. Jauh hari sebelum utusan Shih Huang Di apalagi “anak kemarin sore”, Christipher Columbus.
Saya tak memerlukan Arysio Santos –yang kontroversial itu-- untuk mengatakan penduduk Indian berkulit merah berasal dari bangsa ethiopea alias bangsa “yang terbakar kulitnya”, yang dirujuk berbagai peneliti sebagai bangsa yang berdiam di nusantara. Saya juga tak memerlukan ahli fisiki nuklir Brasil itu untuk menemukan bangsa Zanj, nenek moyang bangsa Zanzibar, Tanzania dll, sebagai pendatang di Afrika Timur yang kerjanya menjarah, merampok, merampok, dan ternyata berasal dari kawasan ini juga.
Begitu luar biasa sebenarnya catatan-catatan yang masih terpisah itu. Begitu lamanya negeri ini diselimuti kabut kebenaran dan jati dirinya sendiri. Begitu lama kita disilaukan oleh paradigma dan lensa atau kacamata para ahli asing. Saatnya tiba kita menemukan diri sendiri, menyimpulkan sendiri, menetapkan sikap, waktu, ruang dan masa depan kita sendiri. Menetapkan cara kita sendiri, untuk mencapainya.

Avatar Indonesia
Sebenarnya ingin saya mengidentifikasi agak lebih rinci, apa yang disebut bangsa nusantara itu. Siapa bangsa yang menyebut dirinya Indonesia itu. Siapa bangsa yang oleh seorang ahli sejarah bahasa Prancis disebut sebagai pemilik sah “bahasa Indonesia”, bukan “bahasa Melayu” atau bahasa “Austro-Melanesia”. Sebutan-sebutan yang menurutnya keliru secara teoritik dan historis.
Tapi kertas ini akan jadi terlalu panjang, dan waktu akan saya serakahi. Saya hanya akan menyebutkan betapa bangsa ini sebenarnya sudah pernah menghasilkan satu bentuk peradaban yang sangat kuat di kawasan yang lebih tua dari Mediterrania ini. Bukan hanya adat-istiadat atau etnik-etnik yang tersebar ratusan. Namun sebuah adab yang mempersatukan merek; peradaban yang membuat mereka bertahan, hidup dan berkembang hingga hari ini. Hingga menjadi Indonesia, dan menciptakan banyak keheranan karena kemampuan persatuannya yang luar biasa, betapapun upaya-upaya untuk memecahnya berkali-kali dilakukan terhadapnya.
Saya hendak mengatakan: peradaban nusantara itu ada dan diwariskan kepada kita. Peradaban yang tidak pernah mati, beku, kolot, atau menelikung. Namun selalu bergerak, progresif, memuai, elastis, dan tak berhenti membentuk dirinya sendiri. Maka yang dibutuhkan untuk itu, wahai manusia Indonesia modern, bila tidak dapat kita “menjadi” diri kita yang historis dan kultural itu, jadilah kita semacam android yang menggabungkannya. Menggabungkan dengan peri kehidupan “modern”, “hi-tech”, “posmo”, “poskolonial”, “pospolisi”  –terserah apapun Anda menyebutnya—dan menjadi avatar sebagaimana yang dimengerti oleh James Cameron, setidaknya.
Avatar Indonesia, yang secara fisikal, emosional-spiritual dan intelektual adalah makhluk baru dengan sebuah sinergi atau larutan atau hibrida baru, menghadapi semua yang baru di atas dunia. Juga merebut ruang, waktu dan masa depan barunya sendiri. Dan janganlah sendiri-sendiri melakukan itu. Kita harus bersama. Juga para pemimpinnya. Jika para pemimpinnya kopeg dan pander, tentu kita tidak dapat berhenti. Kita harus menjadi Indonesia baru, Indonesia yang sebenarnya.
Tapi, siapkah kita?


Jakarta, 17 Maret 2010


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar