Senin, 21 Februari 2011

“MEMULIHKAN RELASI KITA DENGAN AIR”


Oleh: Silvester Petara Hurit*

Air merupakan salah satu unsur alam. Ia tidak bisa dilepas-pisahkan dari keberadaan manusia dan kelangsungan seluruh ekosistem kehidupan. Bahkan sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air, termasuk juga planet yang kita huni ini. Keseimbangan manusia dan alam semestinya menimbulkan harmonisasi yang memberikan manfaat satu sama lainnya.
Air identik dengan kehidupan. Tanpa air kehidupan tidak bertumbuh. Ada ungkapan “cai kahuripan”, air kehidupan. Di mana air, di sana ada kehidupan, entah bermakna denotatif-konkret ataupun konotatif-simbolik-spiritual. Itulah, sebabnya pada masyarakat adat selalu menyesuaikan perilaku kehidupannya dengan mekanisme alam semesta. Namun, seiring perkembangan modernisme yang meletakan posisi manusia sebagai sentrum atau subyek, dan alam semesta dipandang sekedar obyek. Alam semesta kemudian dieksploitasi sesukanya oleh manusia tanpa pengendalian. Manusia menganggap lewat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi alam semesta dapat ditaklukan untuk kemanfaatan manusia secara ekonomis.
Ada peradaban agraris, ada peradaban maritim. Semuanya merujuk pada air. Bahkan pada masyarakat berburu dan pengumpul makanan. Semua berkutat di sekitar sumber-sumber air. Oleh karena itu, cerita tentang air banyak dijumpai di dalam sastra lisan maupun tulisan. Ada banyak nyanyian yang berkisah tentang air. Pun ungkapan-ungkapan, mitologi dan bahkan penamaan suatu tempat seperti dusun, desa dan bahkan  identitas suatu kelompok masyarakat selalu merujuk padanya.
Peradaban kita adalah peradaban air. Kita tidak bisa memungkiri hal tersebut mengingat kita adalah bangsa agraris dan maritim. Oleh sebab itu, jika kita tahu siapa diri kita, mengenal akar kehidupan dan kenyataan kita maka air seharusnya mendapat tempat yang istimewa di dalam pemikiran, kesadaran, sikap dan tata laku kita.
Ajaran leluhur/kearifan lokal telah menanamkan sebuah keyakinan untuk arif dan bijaksana memandang alam semesta. Munculnya istilah Leuweung Tiis atau Leuweung Baladaheun pada masyarakat adat memiliki makna luhur dalam melihat hubungan dengan lingkungannya. Leuweung Tiis artinya hutan yang tidak boleh dieksploitasi, karena merupakan wilayah hijau resapan air, penghasil O2 atau penyangga kawasan pemukiman. Sementara, Leuweung Baladaheun adalah hutan yang bisa diambil sumber daya hutannya untuk menunjang kehidupan manusia, tetapi tetap menjaga keseimbangannya.
Berlimpahnya air di negeri ini adalah tanda kemurahan Tuhan melalui alam ciptaan Nya. Kenyataan yang begitu diperhatikan, dihormati, dimanfaatkan dengan penuh kesadaran dan rasa syukur oleh nenek moyang kita namun ditinggalkan dan diabaikan begitu saja oleh kita saat ini. Tanda kemurahan Tuhan tersebut kemudian dikuasai dan diprivatisasi oleh orang atau sejumlah pihak demi keuntungan pribadi. Keserakahan manusia memperlakukan alam membuat ketidakseimbangan mekanisme alam semesta. Banjir, longsor, dan bencana alam lainnya, sekarang seakan-akan kejadian tersebut biasa yang harus dihadapi. Persoalan bencana alam kalau kita melihatnya dengan arif sebenarnya akibat kita tidak menempatkan hubungan dualitas antara manusia dan alam semesta.
Penghormatan terhadap air tidak lagi jadi keutamaan sifat kita. Hutan sekitar mata air kerap dibabat. Tak sedikit mata air yang kemudian mengering, hilang karena tidak diberi ruang hidup serta daerah resapan air tak lagi diperhatikan. Rawa dan telaga sudah disulap jadi perumahan dan sebagainya. Bahkan pabrik-pabrik asing berdiri di negeri ini yang membuang sisa limbah produksinya ke sungai dan laut. Meracuni dan membunuh seluruh ekosistem sungai dan laut termasuk manusia yang menggantungkan hidupnya pada kemurahan Tuhan melalui sungai, laut maupun danau.
Belum lagi sampah berserakan di mana-mana. Jarang sekali ada sungai yang jernih. Apalagi sungai yang membelah kota. Selalu menebar aroma tak sedap. Permukaan air ditutupi oleh berkubik-kubik sampah. Jalur air tak diperhatikan secara serius di dalam pengelolaan tata ruang pembangunan. Air sudah dilupakan dan tak lagi dianggap. Dalam konteks ilmiah, kebutuhan terhadap air setiap manusia 100 liter air bersih setiap hari. Artinya, ketergantungan manusia kepada air bersih sangat tinggi. Sedangkan pasokan air bersih tergantung pada lingkungan yang baik, terutama hutannya dalam kondisi yang terjaga.  Kelangkaan air bersih yang menghantui kita sesungguhnya ulah kita sendiri. Konversi lahan dan alih fungsi lahan, eksploitasi yang menimbulkan kerusakan ekosistem hutan, pencemaran air oleh industri, dan intensifikasi pertanian yang menyerobot kawasan hijau adalah penyebab kualitas air bersih menurun dan berakibat bencana alam.
Memahami dan menyadari kondisi rentannya alam semesta yang justru membahayakan manusia, semestinya menjadi refleksi kita semua dalam memperlakukan alam dengan baik dan benar. Masyarakat adat yang kita anggap kuno atau tradisional, ternyata jauh lebih modern dalam memandang hubungan manusia dan alam.
Lentera Zaman mengajak semua pihak untuk berpikir. Merenungkan posisi, relasi, sikap dan perilaku kita terhadap air dan hutan. Lentera mengadakan tumpek kaliwon sebelas kali berturut-turut di Sumur Bandung dengan maksud agar kita kembali  merenungkan makna air di dalam hidup, sejarah kebudayaan dan peradabannya.
Beberapa bulan yang lalu Lentera Zaman melakukan Tumpek kaliwon dan ruwatan air di Curug Dago, melepaskan bibit ikan, melepaskan burung, menanam pohon, melantunkan doa dan lagu. Memuliakan air yang sangat berjasa di dalam kehidupan kita.
Banjir dan longsor beberapa daerah di Bandung, saat ini semestinya menyadarkan kita agar melihat diri kita, memperbaiki sikap kita, relasi kita terhadap air dan hutan. Mengembalikan semua yang telah kita rampas dari air dan hutan tersebut. Menanam tumbuhan tempat burung berkicau, tempat serapan air, sebagi penghasil oksigen dan, menyediakan tempat hidup bagi ikan, udang, belut dan aneka jenis bahan makanan lainnya yang kita butuhkan bersama.
Jika kita ingin meraih kembali  hidup yang sehat, indah serta berkelimpahan, mari bersahabat dengan air dan hutan, menegakkan kembali peradaban leluhur/kearifan lokal yang sudah lama kita tinggalkan !
*Esais, Pemerhati Seni & Budaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar